Kamis, 14 November 2013

tokoh filsafat pendidikan

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEAMTIKA
TOKOH-TOKOH ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
            Filsafat adalah pandangan atau pegangan hidup seseorang. Dengan filsafat seseorang dapat menentukan arah hidup karena memiliki fisafat sebagai pendangan dan pegangan hidup. Filsafat secara umum juga digunakan dalam dunia pendidikan. Berdasarkan filsafat umum, diturunkan dalam filsafat pendidikan yaitu realisme, idealisme, materialisme, pragmaisme, eksistensialisme, progresivme, esensialisme, perenialisme, rekonstruksionisme. Dari aliran-aliran tersebut terdapat beberapa tokoh yang menganut atau bahkan mencetuskan aliran-aliran tersebut. Berikut tokoh-tokoh dalam aliran filsafat pendidikan, diantaranya:
  1. Filsafat Pendidikan Idealisme
    1. GambarPlato (428-348 SM) Plato filosof dari Yunani yang aktif mengembangkan filsafat dengan mendirikan sekolah “academia”. Ia berpendapat bahwa konsep ide merupakan pandangan terdapat suatu dunia di balik alam kenyataan, sebagai hakikat dari segala yang ada, kebaikan dan keburukan. Ide merupakan suatu hal yang objektif yang di dalamnya berpusat dan dikendalikan oleh puncak ide yang digambarkan sebagai ide tentang kebaikan yang diformulasikan sebagai tuhan. (http://forum.indonesiamengajar.org/discussion/115/aliran-aliran-dalam-filsafat-pendidikan/p1, diakses pada 10 Oktober 2013 19.40)
    2. GambarAl- Ghazali Al-Ghazali merupakam tokoh ilmu aliran al-Muhafidz yang memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanya ilmu-ilmu yang dibutuhkan sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak. Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu. Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
    • Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
    • Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
    • Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
    • Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah. (http://copast-master.blogspot.com/2012/12/aliran-utama-dalam-filsafat-pendidikan.html, diakses pada 11 Oktober 2013 pukul 12.35)
  2. Filsafat Pendidikan Realisme
  • GambarAristoteles (384-348 SM) Aristoteles adalah bapak ilmu, beliau berpandangan bahwa ilmu pendidikan dibangun melalui riset pendidikan. Riset merupakan suatu gerak maju dan kegiatan-kegiatan observasi menuju prinsip-prinsip umum yang bersifat menerangkan dan kembali kepada observasi. Kemudian ia berpendapat sebaiknya ilmuan menarik kesimpulan secara induksi dan deduksi. Tahap induksi, generalisasi(kesimpulan umum) tentang bentuk ditarik dari pengalaman pengindraan. Selanjutnya kesimpulan yang diperoleh dari tahapan induksi dipergunakan untuk premis-premis deduksi dari pernyataan-pernyataan tentang observasi. Menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas di abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 – 1198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri.(http://forum.indonesiamengajar.org/discussion/115/aliran-aliran-dalam-filsafat-pendidikan/p1, diakses pada 10 Oktober 2013 pukul 12.50)
  • John Locke Gambar dilahirkan tanggal 28 Agustus 1632 di Wrington, Somerset. Salah satu pemikiran Locke yang paling berpengaruh di dalam sejarah filsafat adalah mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan. Ia berupaya menjelaskan bagaimana proses manusia mendapatkan pengetahuannya. Menurut Locke,seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Posisi ini adalah posisi empirisme yang menolak pendapat kaum rasionalis yang mengatakan sumber pengetahuan manusia yang terutama berasal dari rasio atau pikiran manusia. Meskipun demikian, rasio atau pikiran berperan juga di dalam proses manusia memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu belum berfungsi atau masih kosong. Situasi tersebut diibaratkan Locke seperti sebuah kertas putih (tabula rasa) yang kemudian mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh manusia itu. Rasio manusia hanya berfungsi untuk mengolah pengalaman-pengalaman manusia menjadi pengetahuan sehingga sumber utama pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.  Locke menyatakan ada dua macam pengalaman manusia, yakni pengalaman lahiriah (sense atau eksternal sensation) danpengalaman batiniah (internal sense atau reflection).Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yaitu segala aktivitas material yang berhubungan dengan panca indra manusia. Kemudian pengalaman batiniah terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara 'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan sebagainya. Kedua bentuk pengalaman manusia inilah yang akan membentuk pengetahuan melalui proses selanjutnya. Dari perpaduan dua bentuk pengalaman manusia, pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah, diperoleh apa yang Locke sebut 'pandangan-pandangan sederhana' (simple ideas) yang berfungsi sebagai data-data empiris. Ada empat jenis pandangan sederhana:
  • Pandangan yang hanya diterima oleh satu indra manusia saja. Misalnya, warna diterima oleh mata, dan bunyi diterima oleh telinga.
  • Pandangan yang diterima oleh beberapa indra, misalnya saja ruang dan gerak.
  • Pandangan yang dihasilkan oleh refleksi kesadaran manusia, misalnya ingatan.
  • Pandangan yang menyertai saat-saat terjadinya proses penerimaan dan refleksi. Misalnya, rasa tertarik, rasa heran, dan waktu. (http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke, diakses pada 11 Oktober 2013 pukul 13.00)
  1. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
  • GambarSoren Kierkegaard (1813-1855) memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atautidak ilmiah. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard pernah mengagumi filsafat Hegel karena dianggap mampu memberikan jawaban yang sangat mendalam dan menyeluruh tentang sejarah umat manusia, dalam perspektif yang sama sekali baru saat itu. Namun, kemudian Kierkegaard melihat idealisme Hergel itu terlalu abstrak, serta tidak mampu menjangkau kehidupan konkret dan faktual manusia serta permasalahannya. Persoalan-persoalan manusia seperti kebahagiaan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, dan sebagainya harus dicari jawabannya atau maknanya. Namun, persoalan-persoalan seperti itu tidak mungkin diterangkan oleh --atau dapat dijelaskan dalam kerangka pemikiran – Hegel. Kritik Kierkegaard atas idealisme Hegel, teori-teori umum, dan obyektivisme ilmu adalah bahwa pendekatan Hegel itu seperti menganjurkan manusia untuk sekadar menjadi pengamat bisu, yang tidak punya komitmen dan keterlibatan dengan hal-hal yang terjadi di pentas teater dunia. Padahal, sebenarnya manusia adalah aktor yang secara langsung atau tak langsung juga berperan dalam cerita yang dipentaskan di teater tersebut. Dalam kaitan agama, Kierkegaard beranggapan, kepercayaan pada Tuhan akan selalu melibatkan pilihan individual, suatu ”loncatan iman” individual. Apa yang dilibatkan dalam kehidupan iman tidak dapat disangkal, atau dalam hal ini divalidasi, oleh logika konvensional atau sintesis rasional. Dengan demikian, Kierkegaard praktis menolak pandangan Hegel. Jika filsafat agama secara tradisional berusaha mendamaikan iman dan nalar (rasio), Kierkegaard justru mengambil langkah yang bertentangan dan menegaskan ketidakcocokan antara keduanya. Yakni, ada diskontinuitas mutlak antara yang manusiawi dan yang ilahiah. (http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2010/11/soren-kierkegaard-dan-eksistensialisme.html, diakses pada 11 Oktober 2013 pukul 21.45)
2. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
GambarJohn Dewey (1859-1952)  adalah pelopor pendidikan progresif, ia memandang bahwa anak-anak harus didorong untuk mengembangkan free personalities dan bahwa mereka harus diajarkan “bagaimana untuk berpikir dan untuk membuat penilaian daripada hanya memiliki kepala mereka diisi dengan ilmu pengetahuan”. Dewey juga percaya bahwa sekolah adalah tempat di mana anak-anak harus belajar untuk hidup kooperatif. (http://informasi2-pendidikan.blogspot.com/2011/05/filsafat-pendidikan-12-tokoh-filsafat.html, diakses 11 Oktober 2012)
Konsep kunci filsafat Dewey adalah pengalaman. Pemahaman ini dipengaruhi oleh pemahaman kaum Hegelianisme tentang perkembangan pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Menurutnya, pemikiran kita perpangkal dari pengalama-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek, yaitu:
  1. Pemikran selalu berada dalam situasi yang membingungkan dan tidak jelas.
  2. Pemikiran selalu berada dalam situasi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. (http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/pragmatisme-john-dewey/, diakses pada 12 Oktober 2013 pukul 07.46 WIB)
3. Filsafat Pendidikan Esensialisme
 GambarGeorg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi satu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum-hukum sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak. (http://www.wartamadani.com/2013/03/konsep-pendidikan-esensialisme-dalam.html, diakses 12 Oktober 2013 pukul 08.18)
4. Filsafat Pendidikan Perenialisme
GambarThomas Aquinas berpendapat pendidikan adalah menuntut kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru bertugas untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata. Menurut J.Maritain, norma fundamental pendidikan adalah:
  • Cinta kebenaran
  • Cinta kebaikan dan keadilan
  • Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi
  • Cinta kerjasama
Kaum perenialisme juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selama berabad-abad jadi, gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memcahkan permasalahan-permasalahn disetiap zaman. Selain itu, filsafat perenialis menekankan kemampuan-kemampuan berpikir rasional manusia sehingga membedakan mereka dengan bintang-bintang lain.
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquinas mengemumakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjasi pengetahuan. Selain pengetahuan  manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan  melalui pengalaman dan rasionya (di sinilah ia mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism, dan ajaran gerejanya). Filsafat Thomas Aquinas disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah sama dengan neotonisme dalam pendidikan. (http://trinitycute.blogspot.com/2012/05/pendidikan-menurut-aliran-filsafat.html, diunduh 12 Oktober 2013 pukul 09.56)
5. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
George Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam  publikasinya “Dare the school build a new sosial order” mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, dan kesukuan (rasialisme). Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial dari pada pendidikan hanya mempertahankan status qua dengan ketidaksamaan-ketidaksamaan dan masalah yang terpendam di dalamnya. (http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/06/filsafat-pendidikan-rekonstruksionisme.html, diakses 12 Oktober 2013 pukul 10.33)
Georg Count ingin para guru untnuk memimpin masyarakat bukannya mengikuti masyarakat. Para guru adalah pemimpin dan harus membuat kebijakan yang bisa memutuskan antara tujuan dan nilai-nilai yang saling bertentangan. Guru harus peduli dengan urusan sekolah, tapi juga harus peduli dengan masalah-masalah kontroversi, ekonomi, politik, dan moralitas.